Laura Khalida
Saya sudah mengetahui tentangnya melalui majalah Muslimah (sebelum saya jadi reporter di sana). Namanya Dewi Nurcahyani, adik dari seorang artis bernama Ratna Listy (host ‘Bedah Rumah’). Ketika akhirnya saya berhasil kerja di majalah ini, sejujurnya sosok yang saya ingin lihat pertama kali adalah dia. Penasaran aja, kayak gimana sih adiknya seorang Ratna Listy?
Akhirnya Senin, 17 Januari 2005 itu saya bisa bertemu semua rekan kerja baru, termasuk Mbak Dewi yang berprofesi sebagai seorang fotografer.
“Oh... ini orangnya...” benak saya berkata. Mengenakan kemeja, celana jeans, dan jilbab yang diikat kebelakang. Sederhana dan jauh dari kesan glamor. Dimulailah ritual saling kenalan satu sama lainnya. Biasa deh sebagai orang baru, saya masih jaim dan malu-malu kucing. Kebanyakan diamnya dan lebih mengamati keadaan.
Seiring waktu berjalan, ternyata Mbak Dewi bisa menjadi salah satu kawan terdekat saya. Kebetulan meja kami bersebelahan, sehingga bisa banyak ngobrol dan saya sering merhatiin kalau dia mengolah foto di photoshop.
Tingkahnya konyol, suka becanda, dan perkakasnya paling komplit! Mau nyari plester pembalut luka, betadin, minyak tawon, obat kulit, gunting kuku, obeng, sampai garam (untuk temen makan gorengan) mintalah pada dia.
Dia juga tempat kita minta bantuan.
“Mbak... hpku ngadat, kenapa sih?”
“Mbak... laci mejaku nggak bisa dibuka, kuncinya ilang, bongkarin dong..”
“Aku pusing nih... pijitin kepalaku, dong Mbak...”
“Kok komputerku LAN nya nggak jalan... kenapa, ya?”
“Mbak.. internetnya nggak mau connect, neh... bantuin dong....”
“Mbak, gorengannya dateng! Siapin garem,” ini sih suara saya, he he he...
Itulah Mbak Dewi. Meski tomboy tapi hatinya baek habis. Dia sangat perhatian dan kebaikannya tanpa pamrih.
Ketika saya ulang tahun, tiba-tiba saya menemukan sebungkus kado dalam ransel saya. Meski bertanya-tanya dalam hati, saya sudah bisa menduga dari siapa kado itu. Begitu tiba di rumah, tanpa menunggu lagi saya langsung buka kado itu. Sebuah bingkai foto. Kebetulan beberapa waktu sebelumnya, sehabis acara pemotretan untuk majalah, Mbak Dewi menyuruh saya di make up sama Mbak Ugie (tukang riasnya para model Muslimah) .
“Minta dandan dulu sana, nanti aku foto untuk kartu press!” suruhnya waktu itu. Tadinya saya malas. Tapi setelah dipikir-pikir, kapan lagi punya koleksi foto digital dengan kualitas studio secara gratis? Tanpa membuang waktu saya lari ke atas dan minta Mbak Ugie dandanin saya.
“Tipis aja, Mbak. Aku nggak suka menor!” pinta saya waktu itu. Begitu selesai, saya teriak ke arah bawah, “Mbak Dewi!”
“Yaaa...” jawabnya dari bawah.
“I am ready!” lanjut saya.
Serentak temen-temen di bawah heboh, teriak, buru-buru ke atas ingin melihat saya yang jarang dandan ini (biasanya cuma pake bedak dan lipgoss). Sampai atas mereka sibuk godain dan ngejek saya. Malu-malu kucing saya bergaya apa-adanya dan pasrah difoto Mbak Dewi.
Tapi fotografer yang satu ini emang hebat. Mbak Dewi pandai ‘mencuri’ momen-momen penting yang mungkin nggak kepikiran sama kita. Hasilnya kebanyakan foto saya ekspresinya natural. Senyumnya mengembang tanpa beban, tertawa lepas (karena digodain teman-teman), dan sebagainya. Tidak terlihat dibuat-buat. Salah satunya adalah foto yang dipakai sebagai ‘headshot’ multiply ini.
Setelah foto diburning dalam CD, saya langsung mencetak beberapa yang bagus, diantaranya ukuran dompet, yang lalu saya perlihatkan pada Mbak Dewi. Itulah sebabnya ia lalu menghadiahi saya bingkai foto.
“Udah dipajang belum, fotonya?” tanyanya keesokan harinya.
Kebetulan rumah Mbak Nana (Ratna Listy) dekat dengan kantor kami (Kota Wisata, Cibubur). Persisnya di belakang kantor. Sesekali dia suka mengajak kami menengok Regi, keponakannya. Lucunya dia menyebut kakaknya dengan ‘artis’ (bukan dengan maksud menyombong, tentunya)
“Mau ikut nggak ke rumah artis?” gitu selalu kalau dia ngajak.
Atau kalau dia bawa makanan seperti rujak dan lauk, hasil ‘ngerampok’ dari rumah kakaknya, dia akan bilang, “Nih, makanan dari artis!”
Kami juga punya beberapa kesamaan. Salah satunya, sama-sama penggemar sepatu jenis sneakers. Hampir semua sepatu yang dipakainya, pasti saya suka modelnya. Demikian sebaliknya. Kalau saya nonton acara ‘Bedah Rumah’ dan melihat sepatu Mbak Nana bagus dan mirip yang pernah dipakainya, maka saya akan bertanya, “Mbak.. sepatunya Mbak Nana itu kemarin punyamu, ya?”
“Enak aja! Kita nggak pernah tukeran sepatu, tau!” jawabnya sok galak.
Selain itu selera tas kami juga sama. Suka ransel dan tas slempang kecil yang praktis. Sampai-sampai suaminya Mbak Dewi, Luhur, fotografer detik.com bisa menebak selera saya. Ceritanya, suatu hari Mbak Dewi ke kantor pake tas slempang panjang, kalau nggak salah oleh-oleh dari Jakarta Fair (pemberian Mbak Nana). Saya langsung komentar, “Mbak... tasnya bagus deh. Aku suka!”
Langsung dia teriak, “Ih... kok suamiku bener sih. Aku di rumah debat sama dia, katanya pasti Laura yang naksir tas aku, tapi aku yakinnya si Yuyun! Taunya dia yang bener. Sebel deh!” rajuknya lucu.
Ia juga penggemar berat kararter Garfield! Tengoklah rumahnya di kawasan Cileungsi. Koleksi Garfieldnya bertebaran. Bahkan ketika ia harus dirawat inap di rumah sakit, beberapa koleksi Garfieldnya ikut menemani.
“Suamimu nggak keberatan dengan koleksimu, Mbak?” tanya saya suatu ketika.
“Nggak.... asal nggak mahal-mahal aja,”jawabnya sambil nyengir.
Kalau udah menyangkut Garfield, biasanya Mbak Dewi nggak bisa nahan diri. Kalau dia nemu seorang anak kecil di mal yang pakai tas Garfield, misalnya... niscaya ia akan membujuk anak itu mau menjualnya sama dia!
Itulah Mbak Dewi dengan karakternya yang unik. Anaknya cuek, nggak malu-malu. Di kantor tak jarang ia pakai jaket yang ada tutup kepalanya, lalu memakai sapu tangan sebagai masker (kayak orang mau naik motor aja), terus begitu sambil mengolah foto. Sampai kita ejek, “Mbak kena Flu Hongkong, ya?”
Atau ia juga cuek pakai kacamata hitam tempo doeloe yang gede banget itu. Sama saya naik motor menuju sentra Eropa, dengan jaket tutup kepala dan kacamata gedenya. Cuek habis!
Pokoknya kalau di kantor nggak ada Mbak Dewi dan Fachry (fotografer juga, yang biasa kita sapa ‘papah’) bakalan sepi. Keduanya emang berkarakter ‘gila’ yang bisa mencerahkan suasana.
Kalau Mbak Dewi manggil, “Pah... Pah...”
Fachry dengan isengnya menjawab, “Ya Mah... ada apa, Mah....” ada-ada aja.
Ketika saya buat opini untuk Muslimah dengan judul ‘Please deh jangan salahin jilbabmu’, jargon itu sempat menjadi bahan celetukan selama beberapa waktu. Misalnya saat ada yang komentar, “Plis deh....” biasanya Papah langsung menyahut, “Plis deh... jangan salahin jilbabmu!”
Atau kebiasan saya yang suka ngomong, “Apaan sih?” juga dijadikan bahan olokan sama Mbak Dewi. Setiap ada hal baru yang diperbincangkan di kantor, serentak beberapa teman langsung bilang, “Apaan sih? Apaan sih?” sampai saya berkelakar, “Pokoknya yang bilang apaan, sih kudu bayar fee ama aku!”
Ia juga menjuluki saya ‘arwah penasaran’ karena sifat saya yang selalu ingin tahu.
“Dasar arwah!” katanya. Biasanya saya balas, “Kalau nggak arwah, nggak bakalan jadi reporter aku, Mbak!”
“Oh ya... bener juga kamu!” sahutnya.
Lalu... ketika saya memutuskan keluar dari Muslimah, Mbak Dewi meminjamkan buku pada saya. Judulnya ‘Sebelum dipecat, jangan berhenti dari pekerjaan Anda’ dan ‘Don’t sweat small stuff at work’. Begitu keputusan tidak berubah, ia bertanya, “Jadi... nggak ada gunanya baca ini, ya?”
“Ada... nambah pengetahuan...” jawab saya iseng.
Akhirnya tiba juga hari itu. Jum’at tanggal 29 Juli 2005 adalah my last day in office. Pagi-pagi saya sudah menemukan (lagi-lagi) sebungkus kado di meja. Saya tersenyum dan sudah menebak siapa pemberinya. Namun saya tak langsung membukanya, saya masukkan dalam tas.
Sampai rumah, kado itu saya buka. Isinya jam dinding manis berwarna ungu. Memang tak ada nama pemberinya. Tapi terdapat kartu ucapan bergambar Garfield bertuliskan ‘ Thanks 4 kindness ‘n forgive me. Keep in touch, guy!’
Langsung saya sms dia, “Thanks Mbak, I knew it from u. Tadi kemana aja sih, jadi nggak bisa pamitan deh.”
Rupanya dia pijet refleksi sama Bu redaktur di sebuah spa di sentra Eropa! Dasar ibu-ibu.
Seperti sudah saya kisahkan di tulisan saya sebelumnya (Ketika Harus Memilih...). Meski hanya enam bulan, namun Muslimah membawa kesan yang mendalam. Salah satunya ya Mbak Dewi itu. Yang saya saluti adalah, orangnya tetap opimis. Meski saat ini kondisi kesehatannya agak terganggu, namun ia tetap semangat menjalani hidup dan bisa tidak memikirkan penyakitnya itu. Pokoknya Mbak, aku akan mendoakan supaya dirimu lekas sehat.
Marilah teman-teman... kita berdoa supaya Mbak Dewi yang baik hati segera cepat sembuh dari penyakitnya dan segera dikaruniai momongan yang lucu. Aminnn....
dalem banget
BalasHapusaminnnn ya rob
BalasHapuskawan baikQ adalah TuhanQ
BalasHapus